Kabut Violet menggantung di beranda hatiku, serupa pagi di Danau Bulan yang dingin. Jemariku gemetar menyentuh halaman majalah yang lusuh. Di sana, wajahmu terpampang, anggun bagai lukisan dewi di kuil yang terlupakan.
Rambutmu, segelap malam tanpa bintang, tergerai lembut di bahu. Bibirmu, semerah delima yang merekah, menyunggingkan senyum misterius, seolah menyimpan rahasia taman terlarang. Tapi… matamu. Ah, matamu!
Mata itu, sedalam samudra tanpa dasar, menatapku. Bukan dengan cinta yang dulu pernah membara, bukan pula dengan rindu yang dulu kita bagi. Melainkan dengan tatapan menyalahkan, sebuah tuduhan bisu yang menusuk jantungku lebih tajam dari belati.
Di manakah kita saat itu, kekasihku? Apakah kita pernah benar-benar berdansa di bawah hujan bunga sakura? Atau semua itu hanya serpihan mimpi, remah-remah kenangan yang kuciptakan sendiri di tengah kesunyian malam?
Mungkin kau adalah peri, terperangkap di antara dimensi waktu, menari di pusaran angin yang tak terjangkau. Mungkin aku hanyalah pelukis buta, mencoba menorehkan keindahan wajahmu di atas kanvas imajinasi.
Namun, setiap kali aku menatap matamu di halaman itu, aku merasa seperti pengkhianat. Aku merasa telah melakukan dosa yang tak terampuni, mencuri kebahagiaan yang bukan milikku.
Bulan purnama memancarkan sinarnya melalui celah tirai, membelai wajahmu di majalah dengan cahaya pucat. Aku memejamkan mata, berharap saat membukanya kembali, semua ini hanyalah ilusi.
Tapi kenyataan selalu lebih kejam dari mimpi buruk.
Satu lembar surat usang terselip di balik halaman majalah. Tulisan tanganmu yang dulu kurindukan terukir di sana, berbunyi:
"Aku tidak pernah difoto untuk majalah itu. Wajah itu… wajah itu milik orang lain. Aku hanya pernah mencintaimu dalam mimpi."
Kebenaran itu menghantamku bagai badai. Jadi, selama ini aku mencintai bayangan, mencintai khayalan, mencintai sepotong mimpi yang tak pernah ada.
Kini, matamu tak lagi menyalahkanku, karena mata itu bukan matamu. Tapi hatiku… hatiku terasa semakin berdarah. Luka yang dulu nyaris sembuh, kini menganga lebar, dipenuhi racun kerinduan.
Dulu, kau pernah berbisik… "Jika kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya..."
You Might Also Like: 20 Tips Pelembab Lokal Untuk Kulit