Bayangan yang Menggenggam Tanganku Dalam Mimpi
Malam itu, salju turun seperti pecahan kristal mimpi yang hancur. Darah berwarna merah tua, bagai mawar layu, menetes di atas hamparan putih yang membeku. Aroma dupa cendana, yang dulu menghangatkan pertemuan rahasia mereka, kini tercampur dengan bau anyir besi yang memualkan. Di kuil tua yang terlupakan ini, tak ada lagi doa, hanya gema dendam yang berbisik di antara pilar-pilar lapuk.
Xiao Mei, dengan gaun sutra merah yang ternoda, berdiri bagai patung es yang hidup. Matanya, yang dulu berbinar karena cinta pada Lin Wei, kini hanya memancarkan kebencian sedalam jurang yang tak berdasar. Di hadapannya, Lin Wei berlutut, wajahnya pucat pasi diterangi cahaya rembulan yang dingin.
"Lin Wei," bisik Xiao Mei, suaranya serak seperti gesekan pedang berkarat. "Ingatkah kau janji yang kau ucapkan di atas abu, di malam kita bersumpah setia sehidup semati?"
Lin Wei hanya menunduk, bahunya bergetar. Janji itu, seperti asap, telah lama lenyap ditelan badai ambisi dan pengkhianatan. Rahasia lama, yang terkubur dalam-dalam selama bertahun-tahun, kini terkuak dengan brutal. Keluarga Xiao Mei, dihancurkan oleh tipu daya dan keserakahan keluarga Lin Wei. Ayahnya, difitnah dan dibunuh. Semua demi kekuasaan dan tahta.
Air mata mengalir di antara dupa yang membara, bagai sungai kesedihan yang tak pernah kering. Lin Wei mencoba meraih tangan Xiao Mei, namun ia menariknya dengan kasar. Sentuhan yang dulu terasa hangat dan menenangkan, kini terasa seperti bara api yang membakar kulitnya.
"Kau pikir, dengan air mata buayamu itu, aku akan memaafkanmu?" desis Xiao Mei, matanya berkilat marah. "Ayahku, keluargaku… semua yang kurampas dariku! Bertahun-tahun aku hidup dalam bayang-bayang, merencanakan ini, menunggu saat yang tepat."
Lin Wei mencoba menjelaskan, membela diri, namun kata-katanya tercekat di tenggorokan. Kebenaran pahit telah menelanjangi jiwanya. Ia memang bersalah. Ia tahu ia pantas mendapatkan hukuman.
Xiao Mei mengangkat belati perak yang berkilauan di bawah rembulan. Diukirnya nama keluarga Lin Wei di atas salju yang berlumuran darah. Ia mendekat, langkahnya tenang namun mematikan. Dendamnya, bagai anggur yang telah lama diperam, kini siap diteguk hingga tetes terakhir.
Dengan satu gerakan cepat, belati itu menghujam jantung Lin Wei. Tidak ada teriakan, hanya erangan tertahan yang hilang ditelan angin malam. Lin Wei ambruk ke salju, matanya menatap kosong ke arah langit.
Xiao Mei menatap mayat Lin Wei dengan tatapan dingin yang tak bergeming. Ia berbalik, berjalan menjauh dari kuil tua itu, meninggalkan jejak kaki berlumuran darah di atas salju. Balas dendam telah terbayar. Namun, kekosongan yang ditinggalkannya jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Di kegelapan yang semakin pekat, ia berbisik, "Mungkin, kita memang ditakdirkan untuk saling mencintai dan membenci... selamanya."
Dan malam itu, ketika angin berbisik di antara pepohonan bambu yang membeku, Xiao Mei tahu bahwa bayangan Lin Wei akan terus menggenggam tangannya dalam mimpi, sampai akhir hayatnya.
Apakah Anda merasakan kengeriannya?
You Might Also Like: Jualan Kosmetik Bisnis Rumahan Kota