Cinta yang Mati Dalam Senyummu
Bagian 1: Bunga Persik di Tengah Kota Modern
Seratus tahun telah berlalu sejak Lin Wei, sang jenderal muda yang gagah berani, mengkhianati janjinya pada Mei Hua, penari istana dengan senyum sehangat mentari. Seratus tahun sejak Mei Hua, dengan sebilah belati di tangannya, mengakhiri hidupnya di bawah pohon persik yang sedang bermekaran penuh. Seratus tahun… dan di tengah hiruk pikuk kota Shanghai yang modern, bunga persik itu kembali mekar di taman tersembunyi.
Xiao Ning, seorang desainer interior muda yang sedang naik daun, selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Ia merasa seperti potongan puzzle yang hilang, atau melodi yang terputus di tengah jalan. Ia bermimpi tentang taman yang dipenuhi bunga persik, tentang suara tawa yang renyah, dan tentang tatapan mata yang penuh cinta namun berakhir dengan pengkhianatan.
Suatu hari, tanpa sengaja, ia menemukan taman tersembunyi itu. Aroma bunga persik menyeruak, menusuk relungnya yang paling dalam. Di sana, di bawah pohon persik yang sama, ia bertemu dengan Li Cheng, seorang pengusaha muda yang misterius dan dingin. Tatapan mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti. Ada deja vu yang kuat, sebuah getaran aneh yang mengguncang jiwa mereka.
"Rasanya… aku mengenalmu," bisik Xiao Ning, suaranya bergetar.
Li Cheng hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Mungkin kau salah orang, Nona Xiao."
Bagian 2: Bisikan Masa Lalu
Pertemuan itu adalah awal dari rangkaian kejadian aneh. Xiao Ning mulai mendengar bisikan-bisikan dalam tidurnya, penggalan-penggalan percakapan dari masa lalu yang terasa begitu nyata. Ia melihat bayangan dirinya menari di istana, mengenakan gaun sutra berwarna merah darah. Ia melihat bayangan Li Cheng, dengan seragam jenderal yang gagah, namun di matanya tersirat kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
Li Cheng pun tak luput dari gangguan masa lalu. Ia seringkali menemukan dirinya berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan tatapan kosong. Ia mendengar nama "Mei Hua" terucap dari bibirnya sendiri, bahkan ketika ia tidak sadar. Ia menyimpan lukisan seorang wanita cantik di ruang kerjanya, lukisan yang selalu membuatnya merasa bersalah.
Mereka berdua, tanpa sadar, mulai mencari jawaban atas mimpi dan bisikan yang menghantui mereka. Mereka mengunjungi kuil-kuil kuno, mencari petunjuk di antara relik-relik sejarah. Mereka membaca buku-buku tua tentang dinasti yang hilang, mencoba mengurai benang merah antara masa lalu dan masa kini.
Bagian 3: Kebenaran yang Menyakitkan
Kebenaran itu akhirnya terungkap, pahit dan menusuk seperti duri mawar. Lin Wei, jenderal muda yang dikagumi, telah mengkhianati Mei Hua karena ambisi dan kekuasaan. Ia dijanjikan jabatan yang lebih tinggi dan pernikahan dengan putri kerajaan, asalkan ia menyingkirkan Mei Hua dari hidupnya. Lin Wei memilih kekuasaan daripada cinta, memilih ambisi daripada kebahagiaan.
Mei Hua, yang patah hati dan merasa dikhianati, mengakhiri hidupnya sebagai bentuk protes dan kekecewaan. Ia berjanji, di saat-saat terakhirnya, bahwa jiwa mereka akan bertemu kembali di kehidupan selanjutnya, dan Lin Wei akan membayar semua kesalahannya.
Li Cheng, dengan putus asa, menyadari bahwa ia adalah reinkarnasi dari Lin Wei. Ia dihantui oleh dosa-dosa masa lalunya, oleh janji yang ia ingkari, oleh cinta yang ia hancurkan. Ia berusaha mendekati Xiao Ning, berusaha meminta maaf atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya, namun rasa bersalah dan penyesalan membuatnya bungkam.
Bagian 4: Keheningan Pengampunan
Xiao Ning, setelah mengetahui kebenaran yang menyakitkan, tidak membalas dendam dengan kemarahan atau kebencian. Ia membalasnya dengan keheningan yang mendalam. Ia menjauhi Li Cheng, tidak membalas teleponnya, tidak menjawab pesannya. Ia membiarkan Li Cheng merasakan sendiri beratnya dosa-dosa masa lalu.
Suatu hari, Li Cheng menemukan Xiao Ning di taman tersembunyi, di bawah pohon persik yang sedang bermekaran. Ia berlutut di hadapannya, memohon maaf dengan air mata yang berlinang.
"Maafkan aku, Mei Hua. Maafkan aku atas semua yang telah kulakukan. Aku bersumpah, di kehidupan ini, aku akan menebus semua kesalahanku."
Xiao Ning menatap Li Cheng dengan tatapan kosong. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum tipis, senyum yang sama dengan senyum Mei Hua di lukisan itu. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Li Cheng, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Li Cheng yang terpaku di bawah pohon persik.
Ia telah memaafkan, bukan dengan kata-kata, tapi dengan keheningan yang lebih menyakitkan daripada seribu teriakan. Ia telah membalas dendam, bukan dengan kemarahan, tapi dengan pengampunan yang menusuk.
Di taman itu, di tengah hembusan angin sepoi-sepoi, terdengar bisikan samar: "… sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Jenderal…"
You Might Also Like: Skincare Lokal Untuk Kulit Tropis