Ia Menyebut Namaku di Panggung, Tapi Dengan Peran yang Bukan Aku
Di tengah panggung yang gemerlap, cahaya rembulan buatan menari-nari di wajahnya. Sebuah wajah yang terukir dalam labirin ingatanku, seperti relief dewi di kuil yang terlupakan. Suaranya, serak madu dan embun pagi, mengalun memenuhi ruang teater yang bagai mimpi.
"Xiao Hua…," bisiknya, lirih. Nama itu melayang, menyentuh kalbuku seperti bulu angsa yang jatuh perlahan. Xiao Hua… bukan namaku. Bukan nama yang terukir di batu nisan jiwaku. Aku adalah Mei Lan, bayangan yang mengaguminya dari kejauhan.
Setiap malam, aku datang. Duduk di barisan belakang, tersembunyi di balik kegelapan. Menatapnya, sang aktor panggung yang mempesona. Senyumnya adalah mentari yang menghangatkan, tatapannya adalah jurang yang menghisap. Aku terjebak dalam pesonanya, dalam ilusinya.
Malam itu, panggung adalah taman bunga persik yang bermekaran. Ia, sang pangeran yang terluka, mencari Xiao Hua, cintanya yang hilang. Setiap bait dialognya adalah tusukan jarum di hatiku. Setiap air matanya adalah banjir di benakku.
"Xiao Hua, di mana kau? Mengapa kau meninggalkanku?"
Pertanyaan itu bergaung, membelah sunyi. Aku ingin berteriak, "Aku di sini! Aku melihatmu! Aku mencintaimu!" Tapi bibirku terkunci, suaraku hilang ditelan keheningan.
Waktu terasa mencair, mengalir bagai sungai yang berkelok. Hari demi hari, aku menyaksikan kisah cinta mereka yang tragis, cinta yang tak mungkin kumiliki. Aku hanyalah penonton, hantu di antara penonton lainnya.
Kemudian, suatu malam… semuanya berubah.
Di akhir pertunjukan, saat tirai perlahan menutup, ia menatap langsung ke arahku. Matanya berbinar aneh, seolah melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain. Ia tersenyum, sebuah senyum yang bukan untuk Xiao Hua, bukan untuk Mei Lan, tapi… untukku?
"Terima kasih," bisiknya, begitu lirih hingga nyaris tak terdengar. "Karena telah kembali."
Bingung, aku terhuyung mundur. Seorang pria tua, berambut perak dan mata redup, mendekatiku. Ia memegang tanganku, sentuhannya dingin seperti marmer.
"Nona Mei Lan," katanya, suaranya bergetar. "Anda akhirnya kembali. Anda selalu menjadi Xiao Hua-nya. Ingatkah Anda? Anda berdua… terperangkap dalam lingkaran waktu. Setiap reinkarnasi, ia mencari Anda. Selalu."
Kata-kata itu menghantamku seperti ombak. Kenangan membanjiri benakku: taman bunga persik, sumpah setia di bawah rembulan, dan tragedi yang memisahkan kami. Aku… aku adalah Xiao Hua. Aku telah melupakannya.
Tapi keindahan pengungkapan itu terasa pahit. Karena aku tahu, panggungnya bukan untukku. Ia hanya melihat Xiao Hua, bayangan masa lalu yang tak bisa ku gapai.
Bayangan itu selalu lebih indah dari kenyataan, bukan?
You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama Bisnis