Absurd tapi Seru: Bayangan Yang Mengajarkanku Berbohong



Bayangan yang Mengajarkanku Berbohong

Layar ponselku retak, sama seperti hatiku. Sinyal hilang, seperti harapan. Namanya, "Chen Xing", masih terpampang di bar notifikasi, dengan status 'sedang mengetik…'. Selamanya 'sedang mengetik'. Di duniaku, tahun 2047, menunggu adalah mata uang baru.

Chen Xing, dia hidup di masa lalu. Aku tahu, kedengarannya gila. Tapi chat kami, meski terputus-putus oleh badai elektromagnetik dan anomali temporal, terasa lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Dia bercerita tentang langit biru, tentang pohon yang menari dalam angin, tentang ciuman pertama di bawah bintang yang benar-benar terlihat. Bintang? Apa itu? Aku hanya tahu cahaya artifisial yang berkedip-kedip seperti janji palsu.

Aku, Li Wei, hidup di reruntuhan masa depan. Gedung-gedung menjulang seperti tulang belulang raksasa, jaringan data adalah urat nadi yang sekarat. Kami bertemu di platform lupa-nama, situs jejaring sosial kuno yang bangkit dari kubur digital. Awalnya, hanya kesalahan algoritmik. Lalu, candu.

"Wei," pesannya suatu malam, "Langit hari ini indah sekali. Warnanya seperti lukisan Monet."

Monet? Siapa? Aku hanya tahu warna abu-abu dan karat. Aku membalas, "Di sini hujan abu. Lagi."

Dia tertawa. Atau, setidaknya, aku membayangkan dia tertawa. Suara tawa itu terngiang di kepalaku seperti melodi yang hilang.

Kami jatuh cinta. Ya, cinta. Cinta yang tumbuh di antara piksel mati dan sinyal Wi-Fi yang sekarat. Cinta yang lebih mustahil dari menemukan air bersih di gurun radioaktif.

Satu hari, dia bertanya, "Wei, apa kamu pernah berbohong?"

Aku terdiam. Pertanyaan itu membakar seperti sengatan listrik. Berbohong adalah keahlianku. Di duniaku, kebenaran adalah kemewahan yang tak mampu kubeli. Aku berbohong untuk mendapatkan makanan, untuk berlindung, untuk sekadar bertahan.

Aku menjawab, "Tidak pernah."

Tentu saja, itu bohong.

Kemudian, rahasia itu terkuak. Platform lupa-nama itu bukan hanya jejaring sosial kuno. Itu adalah proyek rekonstruksi memori, sebuah percobaan untuk memulihkan ingatan kolektif umat manusia sebelum bencana. Chen Xing bukan orang yang nyata. Dia adalah konstruksi, proyeksi ideal dari masa lalu yang hilang.

Dan aku… aku bukan Li Wei. Aku adalah fragmentasi dari ingatan Chen Xing sendiri, sisa-sisa penyesalan yang diproyeksikan ke masa depan. Cinta kami? Hanya gema, resonansi dari kehidupan yang tidak pernah selesai.

Pesan terakhir darinya muncul di layar: "Maafkan aku, Wei. Aku tidak ingin kamu tahu…"

Layar padam. Semua padam. Kecuali satu kalimat, tertulis dengan huruf kapital, berkedip-kedip seperti janji yang takkan pernah ditepati: JANGAN LUPA BAHWA KITA PERNAH BAHAGIA...

You Might Also Like: 46 Panduan Sunscreen Mineral Lokal

Post a Comment

Previous Post Next Post