Hujan turun seperti air mata langit, membasahi taman lavender yang dulu menjadi saksi bisu janji-janji kita. Lavender itu kini layu, sama seperti hati yang kau tinggalkan. Tanganku berada di dalam genggamanmu, hangat dan familiar, namun matamu tak melihatku. Matamu hanya tertuju pada lembaran itu, sebuah PERJANJIAN bisnis yang akan membawamu pada kesuksesan, dan membawaku pada kehancuran.
Kau menandatanganinya dengan khidmat, setiap goresan pena terasa seperti tusukan di jantungku. Dulu, tangan ini berjanji akan selalu melindungiku, membawaku terbang tinggi, memelukku erat saat dunia runtuh. Sekarang, tangan yang sama ini malah menusuk punggungku.
Ingatkah kau malam itu, di bawah taburan bintang, saat kau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku? Kau bilang, cintaku adalah kekuatanmu, dan aku adalah satu-satunya yang kau butuhkan. Kata-kata itu kini terasa seperti lelucon yang menyakitkan.
"Sudah selesai," bisikmu, suaramu serak. Kau bahkan tidak menatapku saat mengatakannya. Kau hanya fokus pada lembaran itu, pada masa depanmu yang gemilang, yang dibangun di atas puing-puing hatiku.
Aku tersenyum pahit. Cinta memang buta, dan aku adalah bukti nyatanya. Aku terlalu percaya, terlalu naif, terlalu bodoh untuk melihat kebohongan yang terukir di matamu. Aku terlalu sibuk mencintaimu sampai lupa mencintai diriku sendiri.
Kau melepaskan tanganku, dan aku merasa seperti kehilangan pegangan pada dunia. Kau berbalik, melangkah pergi, meninggalkanku di tengah hujan, dengan hati yang remuk redam.
Namun, tahukah kau, cinta yang dikhianati bisa berubah menjadi racun yang mematikan? Mungkin saat ini kau merasa menang, merasa berada di puncak dunia. Namun, roda kehidupan selalu berputar. Dan karma, sayangku, adalah pelayan yang paling setia.
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar tentangmu. Bisnismu hancur, reputasimu tercemar, dan kau kehilangan segalanya. Orang-orang yang dulu mengelilingimu kini menjauhimu. Kau sendiri, dan terlantar.
Aku tidak tertawa. Aku hanya menatap langit, merasakan sedikit getar di hati. Aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya menunggu. Karena takdir, terkadang, lebih kejam dari balas dendam yang paling terencana.
Akankah kita bertemu lagi, di persimpangan antara penyesalanmu dan kebencianku?
You Might Also Like: Drama Populer Pedang Yang Menangis Di