Cinta yang Tak Pernah Lenyap
Angin musim semi berhembus lembut di Taman Kekaisaran Terlarang. Di antara bunga plum yang bermekaran, berdiri seorang wanita muda bernama Mei Hua. Gaun sutra putihnya menari mengikuti irama angin, rambutnya tergerai panjang seperti air terjun. Pandangannya kosong, menerawang ke arah langit Beijing yang biru. Ia merasakan sesuatu yang asing, deja vu yang begitu kuat hingga membuatnya sesak.
Seratus tahun lalu, di tempat yang sama, berdiri seorang wanita lain bernama Lian, seorang selir Kaisar yang difitnah dan dihukum mati atas kejahatan yang tak pernah dilakukannya. Saat menghembuskan napas terakhirnya, Lian bersumpah: "Jiwa ini takkan tenang, hingga kebenaran terungkap dan pengkhianat membayar hutang!"
Di sudut taman, muncul seorang pria. Wajahnya tampan, matanya menyimpan lautan kesedihan. Namanya Wei. Seorang CEO muda yang sukses, namun hidupnya terasa hampa. Tatapannya terpaku pada Mei Hua. Jantungnya berdegup kencang, seolah mengenali wanita itu dari KEKEKALAN.
"Siapa kau?" bisik Mei Hua, suaranya bergetar.
Wei terdiam. Ia tak tahu mengapa, tapi suara wanita itu terasa begitu familiar, seperti melodi lama yang tiba-tiba kembali menghantui. "Aku… Wei," jawabnya pelan.
Pertemuan mereka adalah awal dari sebuah perjalanan panjang, menelusuri lorong-lorong waktu dan rahasia yang terkubur. Setiap malam, Mei Hua bermimpi tentang kehidupan Lian. Mimpi tentang intrik istana, cinta terlarang, dan pengkhianatan MENDALAM. Ia melihat wajah-wajah yang sama, namun dalam wujud yang berbeda.
Wei, di sisi lain, merasakan tarikan yang tak tertahankan pada Mei Hua. Ia merasa bertanggung jawab, seolah memiliki hutang yang harus dibayar. Ia mulai menyelidiki sejarah keluarganya, menemukan catatan-catatan kuno yang menyebutkan seorang selir yang difitnah.
Perlahan, teka-teki itu mulai terpecahkan. Kebenaran pahit terungkap: keluarga Wei adalah dalang dari fitnah yang menghancurkan hidup Lian seratus tahun lalu. Leluhur Wei, yang berkuasa di istana, menginginkan Lian untuk dirinya sendiri. Ketika Lian menolak, ia menjebaknya dan membuatnya dihukum mati.
Mei Hua, yang kini mengingat semua tentang Lian, menghadapi Wei. Tak ada kemarahan dalam tatapannya, hanya kesedihan yang mendalam.
"Kau... keturunan mereka," ucap Mei Hua lirih.
Wei tertunduk. Rasa bersalah melumpuhkannya. Ia tak tahu bagaimana menebus dosa leluhurnya.
"Dendam takkan pernah membawa kedamaian," kata Mei Hua. "Cukup dengan mengetahui kebenaran, keadilan telah ditegakkan."
Mei Hua tak menuntut pembalasan. Ia memilih keheningan dan pengampunan. Tindakan itu jauh lebih menusuk daripada amarah yang membara. Wei, diliputi penyesalan, bertekad untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, untuk menghapus noda hitam dalam sejarah keluarganya. Ia mendirikan yayasan untuk mengenang Lian dan membantu mereka yang tertindas.
Di bawah SINAR BULAN, Mei Hua menatap Wei. Di matanya, ia melihat secercah penebusan. Ia tahu, arwah Lian kini telah tenang.
Angin berbisik di antara bunga-bunga.
"Ingatlah janji kita... di bawah rembulan ini..."
You Might Also Like: 84 Manfaat Tabir Surya Non Nano Untuk